Diksi, Tak Cukup Bicara.
Oleh : Hasan Savana
Beberapa bulan lalu aku sempat membaca curahan-curahan hati Seno Gumira dalam bukunya "Jika Jurnalisme dibungkam sastra harus bicara" Seno dalam tulisannya menyebutkan kekuatan suatu kata yang tertulis, dimana suatu tulisan itu mampu melintasi zaman, menyebrangi masa. Aku rasa pun demikian, sebuah kata yang tertulis memang mempunyai kekuatan yang sangat besar. Tulisan itu semacam kendaran yang membawa suatu gagasan dan pemikiran.
Ya, kita sekarang bisa mengetahui pemikiran para pendahulu kita melalui tulisan, kita bisa mengetahui sejarah bangsa kita karna tulisan, kita bisa tahu bahwa Al-Gozali adalah seorang sufi juga karna tulisan, kita bisa mengetahui bahwa Plato adalah penganut paham idealis melalui tulisan juga bukan?
Suatu kabar gembira aku dapatkan pada minggu ini, dimana adik-adikku di kampus telah membuat suatu media alternatif yang mewadahi setiap pemikiran dan kreatifitas mereka. DIKSI, demikianlah nama medianya, dengan slogan "bercengkrama dengan kata" menunjukan bahwa Diksi ini merupakan suatu komunitas yang selalu bercengkrama dengan kata, bermain dengan kata, dan dekat dengan kata, lebih tepatnya komunitas ini berfokus pada dunia tulis menulis.
Pramoedia Ananta Toer pernah berkata bahwa, Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Pada ranah ini, teman-temanku di Diksi merupakan orang-orang yang ingin terus hidup, tidak ingin mati hilang dalam masyarakat dan sejarah, begitu mudah dilupakan. Suatu cita-cita yang agung aku rasa.
Menulis memang perlu, sebagai upaya untuk melakukan suatu perubahan, sebagai upaya untuk menyebarkan idealisme, sebagai upaya untuk mencerdaskan manusia, sebagai upaya untuk menyampaikan kebenaran. Bila kita kaji sejarah para tokoh dunia yang telah memberikan perubahan, mereka pun melakukan hal yang sama dengan kita, mencoba menulis untuk berjuang.
Di Negri kita dahulu ada R.M. Tirto Adhi Suryo seorang pemuda yang begitu energik merintis koran Medan Priayayi sebagai upaya menyadarkan dan mencerdaskan bangsa demi terhapuskannya penjajahan yang dilakukan Belanda. Di India Mahatma Ghandi pun melakukan hal yang sama dengan membuat koran Journal untuk menyebarkan ajaran Ahimsa bagi masyarakat India sebagai upaya perlawanan terhadap penjajahan kolonial Inggris, atau pun dalam sebuah fiksi yang dituliskan oleh Maxim Gorki yang menceritakan seorang ibu tua yang menyusupkan buletin ke gerbong-gerbong pabrik untuk melakukan suatu revolusi besar di Rusia.
Tentu, begitu banyak contoh perjuangan yang diiringi dengan tulisan dalam membangun suatu perubahan. Dan terbukti berhasil, walau mereka mati sebelum menang.
Diksi memang masih dini, tapi aku yakin semangatnya untuk tubuh menjadi dewasa dan matang itu besar. Diksi bukan hanya sekedar permainan kata-kata tanpa makna, lebih dari itu mereka punya tujuan yang mulia.
Purwakarta, 23 maret 2017